Kebingungan Bung Wina Armada

  • Bagikan

SUARAGMBI, MAKASSAR–Saya terlebih dahulu memohon maaf yang setinggi-tingginya kepada Bung Wina Armada berkaitan dengan kesaksiannya dalam kasus gugatan kami terhadap PWI Sulsel (tergugat I) dan PWI Pusat (tergugat II) dan Dewan Kehormatan (Turut Tergugat) dengan pokok perkara Surat Keputusan PWI Pusat nomor 164-PLP/PP-PWI/2020 tertanggal 11 Agustus 2020 yang dinilai cacat hukum. Saya sebenarnya tidak minat “urus” yang begini-begini karena hanya akan memeras pikiran dan waktu serta mengganggu kesibukan.

Tetapi sebagai seorang wartawan dan pernah menjadi pengurus PWI Sulawesi Selatan, saya merasa terpanggil mempersoalkan SK tersebut bersama teman-teman. Kami menilai isi surat keputusan ini benar-benar sangat bertentangan dengan bunyi pasal 33 ayat 2 dan 3 Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI yang menjadi urat nadi roda penyelenggaraan kegiatan organisasi. Di satu sisi, seakan-akan Pengurus PWI Pusat menganggap insan wartawan – khususnya kami yang berempat itu – tidak jeli melihat lubang dan bopeng pelanggaran PD/PRT tersebut.

Terus terang, saya bukan seorang yang berlatar belakang ilmu hukum, meskipun gelar magister di belakang nama “M.Hum” yang sering juga melengket pada nama seorang yang bergelar sarjana hukum (S.H.). Tetapi sebagai seorang praktisi dan teoritisi pers, saya harus membaca dan memahami segala peraturan yang berkaitan dengan kewartawanan. mulai dari UU No.40/Tahun 1999, Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Warftawan (KPW).

Posisi sebagai seorang akademisi yang mengajar mata kuliah jurnalistik pun sangat relevan dengan tuntutan bahwa saya harus memahami berbagai legalitas yang mengikut pada organisasi profesi tertua ini. Apalagi, para mahasiswa zaman sekarang sangat kritis karena mereka banyak memperoleh informasi dan pengetahuan dari sumber-sumber lain, terbanyak dari dunia maya (internet) atau media sosial dan mengalami atau menyaksikan praktik kerja-kerja komunitas pers.
Berkaitan topik masalah yang menghadirkan Bung Wina Armada menjadi saksi ahli, kami para penggugat menilai, pelanggaran yang merupakan bias SK 164/PLP/PP-PWI/2020 tertanggal 11 Agustus 2020 tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap pasal 41 ayat 2 PD/PRT yang mengamatkan Setiap perubahan peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PD/PRT) yang telah disahkan oleh Kongres harus dibuat dalam akte notaris. Orang awam hukum saja sangat maklum jika SK tersebut jelas bertentangan dengan pasalPD/PRT tersebut.

Setelah sidang keterangan saksi Selasa (26/10/2021), tiba-tiba saja spiritnews menurunkan berita yang aneh. Katanya, media online ini lugas, jujur, dan dapat dipercaya, tetapi pemberitaannya hanya sebuah simpulan yang dibuat semaunya.
Saya kutipkan isi beritanya: Wina Armada, Saksi Ahli Pers dari Dewan Pres Menjelaskan Legalitasr PWI Sulsel. Proses persidangan Terkait Kasus Pengurus PWI Provinsi Sulawesi Selatan, dan Pengurus PWI Pusat, dihadiri oleh Wina Armada Selaku saksi ahli Pers dari Dewan Pers bertempat di ruangan sidang “BAGIR MANAN”. Alhamdullillah., Sidang gugatan terhadap PWI Sulsel sudah selesai. PWI Sulsel, tidak terbukti melanggar pasal 41 PRT sebagaimana dituduhkan penggugat”’. Ini hasil sidang dari mana?

Keterangan Bung Wina Armada tidak otomatis menjadi penentu ke arah mana vonis sidang ini. Coba simak dari mana simpulan itu diambil. Sebagai seorang wartawan, ini tindakan yang melanggar kode etik jurnalistik dalam kaitan dengan pencantuman opini dalam suatu berita.

Kehadiran Wina Armada dalam sidang tersebut kemudian menjadi kontroversial karena dianggap “jeruk makan jeruk”. Tidak hanya itu, kehadirannya dianggap tidak memberi makna terhadap posisinya sebagai saksi lantaran dianggap tidak menguasai PD/PRT PWI. Dalam percakapan melalui telepon dengan Marah Saksi Siregar sebagaimana tertuang di Grup WA “Warga PWI” selengkapnya berbunyi:

  1. Wina bukan sebagai Saksi di PN Makassar dalam perkara gugatan kepada Pengurus PWI Sulsel. Wina hanya sebagai Ahli — yang biasanya untuk perkara sengketa berita.
  2. Wina menyatakan DK berwenang untuk menjatuhkan sanksi untuk siapa saja anggota PWI yang melenggar KEJ dan KPW (Kode Perilaku Wartawan), tanpa kecuali. Apakah dia dalam posisi pengurus PWI atau tidak. Dia menyesalkan pihak yang mempertentangkan keterangannya dengan keputusan DK.
  3. Soal admin WAG, Wina mengatakan itu tidak ada hubungan dengan perkara di Makassar. Dia tetap menghormati pendapat siapa saja warga PWI sejauh disampaikan sesuai nilai- nilai kesopanan yang kita anut bersama.
  4. Wina, kata ybs, lebih menekanksn agar semua pihak, terutama pengurus PWI untuk mengambil pelajaran dari kasus PWI Sulsel. Hendaknya bisa menjaga amanah dan muruah organisasi wartawan. Betapa pun, tidak boleh ada lagi kasus ketidakpuasan anggota masuk ke meja hijau.

Saya setuju pendapat terakhir.
Terhadap butir pertama percakapan Pak Mara Sakti Siregar dengan Wina Armada, saya menilai, konteksnya sebagai saksi tidak tepat. Sidang gugatan keempat wartawan Sulsel tidak bersoal mengenai konten berita, tetapi terkait dengan pelanggaran PD/PRT. Wina Armada agaknya tidak membaca PD/PRT sehingga teman-teman menilai dia tidak paham terhadap masalah yang digugatkan.

Penjelasan Bang Wina Armada pada butir (1) percakapannya dengan Pak Marah Sakti Siregar tersebut menjadi blunder karena ada media online yang tiba-tiba saja menyiarkan seolah-olah sidang tersebut sudah sampai pada tahap vonis. Lihat berita “spiritnews”. Berita tersebut berpotensi sebagai pembohongan publik dan ini jelas melanggar kode etik jurnalistik, khususnya pasal 5 yang berbunyi “Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dan kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini..”. dstnya. Berita tersebut sama sekali tidak memiliki sumber, sehingga dapat dianggap sebagai berita bohong (hoax) dan hasil “ngarang” wartawannya.

Pada butir (2) percakapan tersebut Wina menyebutkan Dewan Kehormatan (DK) PWI berwenang menjatuhkan sanksi untuk siapa saja anggota PWI yang melenggar KEJ dan KPW (Kode Perilaku Wartawan), tanpa kecuali. Apakah dia dalam posisi pengurus PWI atau tidak. Dia menyesalkan pihak yang mempertentangkan keterangannya dengan keputusan DK. DK PWI sudah sangat jelas menjatuhkan teguran keras kepada Pengurus PWI berkaitan dengan SK 164 yang dikeluarkannya. Ini menjadi salah satu indikasi awal bahwa PWI sudah melakukan kehilafan. Hanya saja, PWI Pusat tidak berusaha mengoreksi dan memperbaiki “kelakuan” organisasinya.

Pernyataan tersebut sepertinya bertolak belakang dengan keterangannya di sidang, sehingga saya menilai terjadi inkonsistensi pada diri seorang saksi ahli. Saya kira keterangan yang tiba-tiba saja berubah-ubah ini sebagai bentuk kebingungan Bung Wina Armada yang menerima “gempuran” dari pengacara penggugat yang menyebutkan tidak tahu masalah inti gugatan.

Kita berharap dengan adanya wartawan menggugat organisasinya tidak dimaksudkan sebagai sebuah “penghianatan” apalagi ingin melakukan “kudeta”. Sama sekali tidak. Kami hanya ingin PWI ini tetap menjaga muruah organisasi. Tetap melaksanakan roda organisasi ini tetap “on the track”. Jangan mengambil langkah yang berpotensi dapat menimbulkan “delik” organisasi.

Yang mengherankan, Wina Armada dalam keterangannya kepada “Fajar” menyebutkan, “saya pikir Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI itu sudah cukup baik dan perlu dilaksanakan dengan baik. Dia menilai, penggugat tidak memahami latar belakang lahirnya PD/PRT pasal 41 ayat 2, yang perlu diaktemotariskan adalah yang telah ditetapkan oleh Kongres…” dstnya..

Mungkin ada baiknya saya angkat kembali pasal 41 (1) PD/PRT agar jelas dan dapat . Ayat 1. “Hal-hal lain yang belum diatur di dalam Peraturan Rumah Tangga, apabila diperlukan dapat diatur oleh Pengurus Pusat, selama hal itu tidak bertentangan dengan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga, untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Kongres. Ayat. 2. Setiap perubahan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga yang telah disahkan oleh Kongres harus dibuat dalam Akta Notaris.

Saya sangat menyesal seorang Wina Armada tidak dapat menginterprestasikan bunyi ayat 1 tersebut. Sebagai seorang yang meneliti “critical discourse analysis” (analisis wacana kritis) saya berpendapat bahwa bunyi pasal tersebut boleh dilakukan oleh PWI selama hal itu tidak bertentangan dengan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga, untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Kongres. Simak baik-baik klausa (satuan gramatikal yang mengandung predikat dan berpotensi menjadi kalimat) “selama hal itu tidak bertentangan dengan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga” Akan tetapi ternyata yang dilakukan PWI justru melanggar karena diktumnya “boleh dilakukan jika tidak bertentangan”.

Ketika PD/PRT ditetapkan dalam Kongres di Solo 2018, kita komunitas wartawan tidak pernah membayangkan bahwa pada suatu masa akan terjadi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Namun, PD/PRT sudah mengantisipasinya dengan menuangkannya di pasal 41 ayat 1 dan 2 PD/PRT. Hanya pemangku dan pengendali organisasi yang lalai menerapkannya,

Kasus Covid-19 yang dijadikan alasan terbitnya SK 164 tersebut kita akui sebagai “force majeure”, yakni keadaan yang di luar kekuasan seseorang. Sebagai seorang yang mengkaji masalah bahasa (jurnalistik) saya berpendapat, pasal 41 dengan dua ayat itu titahnya cukup jelas. Diperlukan kebijakan khusus, yakni dilaksanakannya kongres luar biasa dan hasilnya dikuatkan dengan akte notaris sebagai dasar hukum adanya kebijakan yang tidak tercantum di dalam PD/PRT.

Sebenarnya Bung Wina yang membuat sendiri jalan pikirnya menjadi rumit padahal amanat pasal itu sudah cukup jelas. Mengapa dia tiba-tiba “membangkang” terhadap masalah yang sebenarnya sederhana dan dia sangat tahu? inilah yang dikritik oleh Teun van Dijk dalam teori analisis wacana kritis yang berkaitan dengan “variabel maksud” yang memungkinkan seseorang yang mengeluarkan wacana menyembunyikan sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya, meskipun yang disembunyikan itu justru dia tahu bahwa itu benar. Yang diungkapkan justru yang menguntungkan dirinya atau pihak yang sedang diperjuangkan.
Mengapa seseorang harus “menyembunyikan” sesuatu seperti itu, ini ada kaitan dengan teori serupa yang dikemukakan oleh Norman Fairclough dalam teori sosial kultural wacana kritis. Dia melihat ada unsur relasional dan institusional berkaitan dengan produk wacana yang diungkapkan. Variabel relasional adalah hubungan antara yang menyampaikan wacana dengan pihak yang diperjuangkannya. Ini juga idem dito dengan variabel “institusional”. Ada hubungan institusional antara Bung Wina dengan PWI yang dibelanya.

Persoalan utamanya adalah PWI Pusat abai menggelar kongres luar biasa dan langsung mengeluarkan SK 164 tersebut sebagai legitimasi poenyelenggaraan Konfercab PWI Sulsel Januari 2021. Padahal, jika kongres luar biasa dilaksanakan (apalagi sekarang cukup dengan zoom) tidak ada masalah. Justru masalahnya muncul karena PWI Pusat tidak melaksanakan kongres luar biasa tersebut. Dan dengan penjelasan saya ini, siapa sebenarnya yang tidak tahu masalah, apakah Bung Wina Armada atau kami para penggugat? Terima kasih. Wassalam.

Opini : (M.Dahlan Abubakar)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *