SUARAGMBI, MAKASSAR–PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sumatera Barat akhirnya menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PWI Pasaman Barat Surya Andika, sampai terpilihnya Ketua definitif pada konferensi mendatang. Minggu (31/10/21)
Hal ini ditegaskan Ketua PWI Sumbar H. Heranof Firdaus didampingi Sekretaris Widia Navies, usai menghadiri konferensi PWI Pasaman Barat yang digelar Sabtu (30/10/2021) di salah satu hotel di Simpang Empat, Pasaman Barat. Dari PWI Sumbar, selain Ketua dan Sekretaris juga ikut dalam rombongan Zulnadi, Sekretaris DK PWI, Ismet Fanany dan Rusdi Bais, Bendahara dan Wakil.
Konferensi yang telah dipersiapkan jauh jauh hari oleh panitia ternyata pada hari pelaksanaan banyak yang tidak hadir. Padahal panitia telah melayangkan surat undangan dan SMS kepada anggota yang berhak dipilih dan memilih.
Tidak terpenuhinya kourum, maka pemilihan ketua diundur dan PWI menunjuk Plt Ketua PWI Pasaman Barat yakni Surya Andika. Meskipun demikian pengurus lama tetap menyampaikan laporan pertanggungjawaban, baik menyangkut keuangan maupun kegiatan yang telah dilaksanakan kurun waktu 2019-2021.
Dari laporan tersebut PWI Pasaman Barat mengalami minus kurang lebih Rp10 juta. Andika yang ditunjuk sebagai Plt berjanji akan mencarikan solusinya. Kecuali itu, PWI Pasaman Barat juga merencanakan peningkatan SDM anggota dengan melaksanakan UKW (Uji Kompetensi Wartawan). “Kita akan data anggota yang akan UKW dan bekerjasama dengan Pemda atau stakeholder lainnya,” ujar Andika.
Menanggapi hal ini, Ketua PWI Sumbar merespon positif. Sebab, suka atau tidak, UKW merupakan syarat mutlak bagi wartawan. “UKW itu tidak sulit, sebab yang diuji adalah pekerjaan sehari hari sebagai wartawan,” tukas Zulnadi, Sekretaris DK PWI Sumbar. (rel).
Belajarlah dari Pasaman
Saya sengaja mengutip berita yang dirilis Ahad (31/10/2021) tersebut di tengah karut marut dan riuh rendah sengkarut yang menimpa PWI Sulawesi Selatan. Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat beribukotakan Simpang Ampek. Rasanya kita layak melakukan studi banding dan belajar ke Pasaman Barat dalam berorganisasi profesi ini.
Pasaman yang memiliki luas 3.864,02 km2 dengan penduduk 436.298 jiwa (2021) hasil pemekaran Kabupaten Pasaman tersebut ternyata memiliki organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang taat asas. Konferensi kabupaten tersebut lantaran tidak memenuhi kuorum akhirnya menunjuk pelaksana tugas. Saya membandingkan dengan pelaksanaan konfercab PWI Sulsel pada saat pembukaan dan pemilihan saja tidak memenuhi kuorum dan tetap dilaksanakan. Hal ini karena penyelenggara mungkin berpikir jalan saja dan tidak ada yang mempersoalkannya. Padahal, kita tidak perlu berpikir jauh ke luar tentang siapa yang akan mempersoalkannya, tetapi lebih fokus melihat kembali kepada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi agar kita selalu taat asas.
Saya sangat memahami mengapa ini tidak dilakukan. Pertama, dari awal sudah “diformat” calon ketua harus menang. Kedua, kehadiran Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat secara etis dan psikologis akan bias.
Akibatnya mudah ditebak.Yang calon itu siapa?
Saya tidak habis pikir, mengapa pengurus PWI Pusat lalai menggunakan nalar dalam menetapkan dan mengutus sosok yang mewakili pengurus pada acara Konfrecab PWI Sulsel. Sejatinya, setiap orang yang dikirim mewakili pengurus harus dipertimbangkan kemungkinan adanya benturan kepentingan dengan daerah yang didatangi kemudian dengan calon. Nah, ini jelas sudah “telanjang bulat” permasalahannya. Begitu kacaunya, pada pembukaan Konfercab Ketua PWI Sulsel kok tidak menyampaikan laporan tentang pelaksanaan Konfercab sama sekali dan seolah “menyilakan” wakil dari pengurus PWI Pusat menyampaikan sambutannya.
Saya sangat apresiatif dengan laporan pengurus PWI Pasaman Bafat yang menyebutkan defisit Rp 10 juta dan Pelaksana Tugas berjanji akan mencarikan solusinya. Apa yang dapat kita petik dari laporan ini? Pengurus telah secara transparan dan jujur menyampaikan permasalahan yang dihadapinya, meskipun itu merupakan sebuah utang. Dan, itu diberitakan secara terbuka sebagai bukti pertanggungjawaban pengurus kepada para anggotanya dan juga masyarakat.
Bagaimana dengan PWI Sulsel? Boro-boro transparansi seperti itu, laporan pertanggungjawaban pun tidak disampaikan secara tertulis kepada kami para anggotanya. Jelek-jelek kepemimpinan Zulkifli Gani Ottoh, tetapi dia masih beritikad baik membagikan bundel laporan pertanggungjawaban kepengurusannya kepada para anggotanya dan “kami” orang-orang yang dikucilkan dari organisasi profesi ini.
Ya, meskipun laporan pertanggungjawaban itu tidak diberi kesempatan kepada para anggota untuk menanggapinya (vide LPJ PWI 2015). Media-media partisan pengurus hanya memberitakan sambutan dan wacana ketua tanpa pernah menyebut substansi masalah yang sangat layak diketahui para anggota.
Saya menilai, personel pengurus PWI Sulsel pasca-Zugito, panggilan Zulkifli Gani Ottoh – merupakan kumpulan orang-orang yang masih minim jam terbangnya dalam berorganisasi, sehingga harus didampingi. Hal ini dapat ditilik dari rangkaian keputusan dan pelanggaran yang terjadi, sebagaimana disentil sendiri oleh Zugito pada acara pembukaan Konfercab 29 Januari 2021, terjadi sampai lima kali. Kesalahan seperti ini tidak boleh terjadi seberuntun itu. Harus ada upaya untuk mengeremnya. Lantaran tidak ada upaya untuk mengeram apalagi mencegahnya, akhirnya pengurus bagaikan seorang sopir yang mengemudikan mobil yang remnya blong.
Yang paling saya dan kami (sekelompok wartawan yang dikucilkan) adalah tetap terpeliharanya “politik segregasi” (kebijakan pengucilan) yang dilakukan pengurus. Ini tidak boleh terjadi dalam sebuah organisasi profesi, apalagi sejenis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang lebih banyak mengontrol dan mengomentari organisasi lain. Ya, memang kita akui, dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi tindakan balas dendam dalam berbagai partai politik dan organisasi olahraga dan kemasyarakatan jika seseorang ikut berkontestasi dalam suatu pemilihan. Dan “revance” seperti itu pula yang ditiru dan dianut PWI Sulsel. Saya tidak tahu siapa mentornya.
Menyimak pengalaman balas dendam ini, personel pengurus PWI Sulsel sebaiknya harus belajar pada Pak Syahrul Yasin Limpo yang pada periode pertamanya justru tetap mempertahankan salah seorang pejabat yang notabene merupakan pendukung pesaingnya. Padahal, sang pejabat tersebut sudah mengemasi barang-barangnya di kantor yang bertahun=tahun ditempatinya karena merasa diri akan “habis”. Tetapi ternyata, dia masih tetap dipakai hingga purnabakti.
Lihat pula “kebijakan” Joko Widodo. Prabowo Subianto yang menjadi pesaing kerasnya dalam pemilihan presiden tahun 2019 didapuk sebagai menteri pertahanan. Prabowo juga merasa nyaman di situ karena ketika terjadi debat, dia berbicara banyak tentang bidang pertahanan. Jokowi yang cerdas menariknya mengurus posisi itu.
Tidak hanya itu, pasangan Prabowo berkontestasi, Sandiaha Salahuddin Uno yang mendampingi Prabowo sebagai calon wakil presiden, juga tak luput digaet Jokowi dan menempatkannya sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabinet Indonesia Maju. Sandiaga juga “enjoy” dengan tugas barunya, sambil mempersiapkan diri untuk program-program berikutnya yang tentu saja mungkin belum waktunya dia jelaskan.
Ini contoh bagaimana kehidupan berdemokrasi itu disiasati secara kompromistis demi sebuah negara. PWI Sulsel pun dapat melakukan langkah rekonsialisasi seperti itu demi keutuhan organisasi ini. Tetapi adakah pemikiran ke sana? Saya yakin, belum tumbuh.
Saya juga masih teringat ketika mendirikan Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS) dengan beberapa wartawan senior dan beberapa di antaranya, Burhanuddin Amin, Dahlan Kadir, Razak Kasim, sudah berpulang. Kegiatan yayasan memang agak produktif, sehingga ramai diperbincangkan. Yang hebat, selaku ketua yayasan, saya mampu menghadirkan Gubernur Sulsel ketika itu, Pak Syahrul Yasin Limpo dalam suatu lokakarya pers, langkah yang sama tidak pernah dihadiri Gubernur Suksel pada acara-acara PWI.
Masalahnya mudah ditebak karena saat itu, PWI masih berpolemik dengan Pemprov Sulsel soal kepemilikan Gedung PWI Sulsel. Itu merupakan barang inventaris Pemprov Sulsel yang hendak diakuisisi oleh PWI Sulsel. Pemprov sudah memasang papan nama inventaris tersebut di depan gedung PWI, tetapi orang tidak dikenal (OTK) telah mencabut atau menutupnya agar tidak terbaca oleh publik.
Lantaran kegiatan yayasan cukup menggaung, sebagai ketua yayasan, saya dilaporkan ke Pengurus PWI Pusat dan diancam disuruh memilih. Tetap di PWI atau memilih Yayasan.
Saya berpikir, begitu dangkalnya pemahaman berorganisasi adik-adik saya di Pengurus PWI Sulsel. Bagaimana mungkin sebuah yayasan sebagai organisasi nirlaba bisa berlagak dan berkedok seperti PWI yang organisasi profesi. Yayasan itu dibentuk di bawah keputusan dan penetapan akte notaris dan kemudian disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM serta tidak merekrut anggota, hanya pengurus atau pengelola. Juga, tidak mengeluarkan tanda pengenal, meskipun banyak orang yang minta saya membuat tanda pengenal.
Untung kasus ini selesai bertepatan dengan saya sedang di Jakarta. Pak Sasongko yang berbincang-bincang dengan saya memperoleh penjelasan yang rinci mengenai keberadaan yayasan yang “dikhawatirkan” oleh Pengurus PWI Sulsel tersebut suatu siang di Gedung Dewan Pers. Semuanya sudah “clear” dan Pengurus PWI Sulsel sendiri tidak pernah mempersoalkannya.
Usai bertemu Pak Sasongko, saat mau meninggalkan gedung, nakhoda PWI Pusat, Bung Atal S.Depari, teman sekamar saya ketika meliput Asian Games IX/1982 India, muncul. Saya pun membatalkan meninggalkan Gedung PWI karena Bung Atal mengajak ke ruang kerjanya. Usai mencicipi nasi dos makan siang saya berbincang-bincang dengan Bang Atal yang disertai istrinya siang itu. Banyak hal yang dibicarakan, tetapi hanya satu yang ingat.
“Bawa PWI ini menjadi lebih baik,” rasanya kalimat ini yang tertinggal di dalam batin saya yang tentu saja tak terungkap ke Bung Atal. Dan, ternyata “kecurigaan” saya terbukti kini. Wassalam. Selamat berhari Ahad.
OPINI : (M.Dahlan Abubakar)