Penulis: Nursalim Bakri, SE (koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan LSM GMBI Wilter Sulsel)
SUARAGMBI.CO.ID | MAKASSAR -Budaya ‘Siri’ na pacce ‘merupakan falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat suku Bugis dan Makassar jauh sebelum Bangsa Indonesia terbentuk menjadi suatu negara yang berdulat. Seperti halnya di daerah lain di Indonesia, budaya dan nilai-nilai moral serta etika dan kearifan lokal yang sudah turun temurun menjadi prinsip hidup yang tertanam dalam setiap individu maupun kelompok kemasyarakatan, senantiasa akan terus dipertahankan sebagai salah satu ciri khas interaksi positif sosial kemasyarakatan suatu daerah.
Demikian juga dengan masyarakat Bugis-Makassar yang sampai saat ini masih memegang teguh budaya “Siri’ na Pacce” dalam tatanan kehidupan masyarakat ditengah gempuran budaya asing yang semakin gencar dalam era digitalisasi seperti sekarang ini.
Terdapat makna yang tegas dalam konsep budaya “Siri na Pacce” yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis-Makassar. “Siri” memiliki tiga makna, yakni rasa malu, pendorong untuk meluruskan sesuatu hal bagi siapa saja yang mencederai kehormatan, dan pendorong untuk bekerja dan berusaha sebanyak mungkin demi meraih kesuksesan. Selain itu, “Siri” juga dapat menjadi pengekang orang Bugis dan Makassar agar tidak melakukan tindakan persekusi, tindakan tidak terpuji yang dilarang oleh kaidah adat.
Sementara konsep “Pacce” memiliki makna perasaan hati yang sedih dan pilu apabila sesama warga masyarakat, keluarga, atau sahabat yang ditimpa masalah, kesulitan, dan atau kemalangan. Sehingga secara naluri memunculkan dorongan solidaritas, ikut merasakan, dan terdorong untuk bereaksi dan menolong mereka yang ditimpa kemalangan.
Jiwa solidaritas sosial inilah yang mencari sumber moral untuk membentuk tatanan sosial di tengah masyarakat. Sehingga konsep “Pacce” berfungsi sebagai penyemangat, penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan rasa kemanusiaan dan memberi motivasi pula untuk berusaha sekalipun dalam keadaan yang sangat susah, pelik dan bahkan berbahaya sekalipun.
Istilah “Siri na pacce” yang jika diartikan bermakna “Malu” dan “Perih,” merupakan dua kata yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. “Siri” merupakan bahasa Makassar yang berarti malu, sementara “Pacce” rasa perih yang melahirkan rasa kepedulian yang tinggi yang terlahir dari dalam hati sanubari atau rasa kemanusiaan yang adil dan beradab yang melahirkan semangat rela berkorban jiwa raga maupun materi, bekerja keras, dan sikap pantang mundur.
Istilah “Siri na Pacce” sering kali diungkapkan oleh masyarakat Bugis – Makassar dalam aktivitas kehidupan dan interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat, untuk menanamkan dan mengingatkan kembali jati diri sebagai orang Bugis-Makassar akan makna yang terkandung dalam istilah “Siri na Pacce” itu sendiri.
Budaya “Siri Na Pacce” dalam kehidupan suku Bugis dan Makassar menjadi salah satu faktor pendukung untuk mempertahankan nilai solidaritas kemanusiaan, etika, adat, adab, berani dalam kebenaran, rela berkorban, serta semangat pantang menyerah, sehingga “Siri na Pacce” tidak dapat dipisahkan dalam pranata sosial kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar.
Istilah kata “Siri na Pacce” membangun makna yang sangat dalam bagi masyarakat suku Bugis – Makassar, salah satu istilah kata terkait “Siri na Pacce” yang sering diungkapkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar yang berbunyi “punna tena siriknu, paccenu seng pakania” yang artinya kalau tidak ada siri’-mu (malu-mu) pacce-lah (kepedulian-lah) yang kau pegang teguh.
Ungkapan ini menggambarkan bahwa antara “Siri’ dan Pacce” selalu seiring sejalan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, apabila “Siri dan Pacce” sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh seseorang, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut tidak lebih dari binatang. Hal ini karena dinilai tidak punya “Siri” atau malu dan tidak memiliki unsur “Pacce” atau rasa peka dan kepedulian sosial.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, “Siri na Pacce” telah dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Bugis dan Makassar untuk menumbuhkan sikap positif, berani berbuat berani bertanggung jawab, pantang menyerah dan rela berkorban. Selain itu konsep “Siri na Pacce” akan membuat hidup lebih berguna dan lebih bermakna serta memiliki rasa empati terhadap sesama.
Terdapat banyak istilah dan pandangan suku Bugis dan Makassar tentang “Siri” yang dapat kita lihat dari beberapa petuah-petuah orang makassar terdahulu yang berkaitan dengan “Siri,” salah satunya antara lain ungkapan “Siri’taji nakitau”, yang artinya hanya karena kita masih punya rasa malu (Siri‘) maka kita pantas dinamakan manusia.
Adapun maksud pepatah tersebut adalah seseorang yang tidak mempunyai “Siri” tidak layak disebut manusia. Karena sikap dan perilaku orang yang tidak mempunyai “siri” seperti layaknya perbuatan/perilaku binatang yang tidak punya rasa malu.
Pepatah lain adalah “Punna taenamo siri’ku, manna kupannobokangki, taenamo nalantang lantang“. Secara harfiah, arti pepatah tersebut yakni manakala sudah tidak ada lagi siri’ ku (malu-ku) maka sekalipun aku menikamkan badik-ku untuk menjaga kehormatan Tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Adapun maksud dari pepatah tersebut adalah apabila seseorang sudah tidak memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai kehormatan dan kekuatan lagi di hadapan orang lain. Dari pepatah tersebut diatas sangat jelas hubungan antara “Siri” dan “Pacce” yakni “Siri” sebagai sebab dan “Pacce” sebagai akibat yang timbul dari “Siri” tersebut.
Jika dihubungkan dengan kontrol sosial, budaya “Siri na Pacce” memiliki keterkaitan positif antara satu sama lain, dimana kontrol sosial (social control) merupakan suatu cara atau upaya teknik dan strategi yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang untuk mencegah terjadinya perilaku orang lain atau sekelompok orang lain dalam masyarakat terhadap suatu penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku.
Seseorang yang memegang teguh prinsip hidup dan budaya “Siri na Pacce” akan selalu timbul rasa peduli dan peka terhadap keadaan sosial masyarakat dan lingkungannya.
Pribadinya akan merasa terusik dan terpanggil untuk melakukan koreksi dan perbaikan terhadap segala penyimpangan yang ditemuinya dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia akan berjuang semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang positif agar segala penyimpangan dan hambatan yang ditemuinya dapat teratasi.,
Seorang aktivis yang memiliki prinsip “Siri na pacce akan selalu menjaga tata krama, sopan santun serta adab dan adat dalam segala aktivitasnya, baik itu perkataan maupun tindakan yang ia lakukan. ia akan merasa malu jika dirinya tidak mampu menjaga harkat dan martabat dirinya sendiri, keluarganya, komunitas atau organisasinya tetapi sangat peduli dan kritis terhadap persoalan yang berkembang serta memiliki semangat solidaritas yang tinggi.
Seorang aktivis sejati secara naluri akan memunculkan rasa malu (siri‘) dalam dirinya apabila Ia tidak berbuat apa-apa disaat diperhadapkan pada suatu masalah dan situasi ketidakadilan atau penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat padahal disisi lain dia menyadari akan fungsinya sebagai aktivis untuk melakukan kontrol sosial dalam masyarakat dan sanggup untuk mencegah atau mengungkap perbuatan menyimpang tersebut.
Sedangkan prinsip “Pacce” (perih) yang dimiliki oleh seorang aktivis sejati akan mendoktrin dirinya untuk ikut merasakan akibat atau dampak yang ditimbulkan dari suatu penyimpangan dan ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat baik yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat secara individu maupun secara luas.
Dalam konteks sederhana, seorang aktivis sejati akan merasa malu (siri’) dan dari dalam hatinya akan timbul rasa perih (pacce) apabila ia tidak dapat menyelesaikan segala tugas dan tanggung jawabnya dengan baik terhadap berbagai persoalan yang diperhadapkan kepadanya sebagai seorang sosial kontrol.
Menumbuhkan budaya “Siri’ na Pacce” sebagai prinsip hidup sangatlah penting bagi seorang aktivis karena budaya ini dapat menumbuhkan semangat untuk selalu berbuat kebaikan, membela kebenaran, untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta dapat membentuk karakter dan kepribadian yang tangguh, berani dan pantang menyerah serta meningkatkan kepekaan sosial dan rasa solidaritas yang tinggi karena ikut merasakan penderitaan orang lain akibat dari adanya ketidak adilan yang terjadi dalam kelompok masyarakat atau lingkungannya.
Dorongan semangat yang timbul dari prinsip hidup budaya “Siri na Pacce” akan menghasilkan suatu usaha atau kegiatan untuk memperbaiki kualitas diri dan kualitas lingkungan sosial dari yang tidak baik menjadi baik bahkan secara tidak langsung dapat menjadi cambuk bagi individu seorang aktivis dan lingkungannya untuk selalu menunjukkan kerja maksimal untuk mencapai tujuan.
Dari prinsip hidup “Siri na Pacce” yang dimiliki oleh seseorang dapat menciptakan suatu karakter, jiwa dan kepribadian yang tangguh dan saling melengkapi sebagai modal besar dalam usaha memperbaiki kualitas hidup baik diri sendiri maupun orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat melahirkan sikap dan perilaku positif seorang aktivis yang dijiwai oleh kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya sebagai wujud Bela Negara seorang aktivis. Wujud Bela Negara memiliki makna yang sangat luas, berperilaku dan bertindak sesuai norma-norma dan tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat juga sudah termasuk dalam usaha Bela Negara,
Di era millenial saat ini terdapat berbagai slogan maupun jargon yang sering kali diucapkan masyarakat maupun kelompok masyarakat sebagai salah satu bentuk perwujudan bela negara seperti yang sering terdengar teriakan jargon NKRI Harga Mati, Aku Pancasila, Aku Indonesia, dan lain sebagainya merupakan bentuk perlawanan atas situasi dan kondisi saat ini yang dirasakan rawan perpecahan diantara anak bangsa, namun apalah arti dari sebuah slogan yang sering kita pekikkan dengan suara lantang untuk membangkitkan semangat nasionalisme karena sebagus apapun rangkaian kata dari slogan tersebut kalau hanya terucap lepas dari mulut saja tanpa dilandasi karakter dan prilaku positif untuk dijadikan sebagai suatu prinsip dalam hidup yang terlahir dari budaya “Siri na Pacce” hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Implementasi upaya bela negara dalam kehidupan sehari-hari seorang aktivis yang tercermin dari budaya “Siri’ na Pacce” dapat kita tanamkan mulai dari diri pribadi masing-masing sampai ke lingkup organisasi dan menyebar kedalam tatanan masyarakat disekitar kita. banyak sekali contoh perwujudan Bela Negara yang bersumber dari budaya “Siri na Pacce” yang dapat kita terapkan dalam kehidupan keseharian kita, bela negara bisa kita lakukan dimulai dari diri kita sendiri sebagai contoh dengan keinginan dan motivasi yang kuat untuk terus belajar dan bersungguh-sungguh mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan, tentunya ilmu yang bermanfaat khususnya ilmu yang berkaitan dengan fungsi kita sebagai aktivis kontrol sosial, sebab manfaat ilmu disamping kita akan menjadi orang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman, kita juga berpotensi untuk menjadi orang yang berprestasi yang secara tidak langsung dan otomatis negara akan mendapatkan keuntungan dengan bertambahnya orang-orang yang pintar, cerdas, dan kritis terhadap berbagai permasalahan sosial serta bisa mengurai benang kusut dari Sebab dan akibat masalah tersebut.
Unjuk kerja penulisan opini pada SKW kategori Wartawan Utama lisensi BNSP, (Makassar, 1/10/2022)
Post Views: 2,015