Suaragmbi.co.id, Opini – Anak muda dan politik memiliki hubungan yang penting dalam pembentukan masa depan suatu negara. Meskipun seringkali terdapat stereotip tentang kurangnya minat anak muda dalam politik, kenyataannya banyak dari mereka yang peduli dan ingin berkontribusi.
Partisipasi anak muda dalam politik membawa perspektif baru, energi, dan ide-ide inovatif yang dapat membantu menciptakan perubahan positif dalam sistem politik. Pentingnya adalah untuk memberikan kesempatan, pendidikan politik, dan dukungan yang diperlukan kepada anak muda agar mereka merasa didengar dan memiliki pengaruh dalam proses politik.
Baca juga : May Day 2024, Danny Pomanto: Momentum Pererat Tali Silaturahmi Buruh dan Pemerintah
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) melakukan jajak pendapat dengan menyebarkan angket melalui metode snowballing. Jajak pendapat ini melibatkan 85 responden anak muda dengan rentang usia 17 hingga 30 tahun. Jajak pendapat ini menemukan sebanyak 88 persen responden mengetahui dinamika sosial, politik, hukum, dan ekonomi berdasarkan media sosial. Selanjutnya, 89 persen responden mengetahui penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Dari 89 persen responden tersebut, sebanyak 76 persen responden mengetahui informasi mengenai Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dari media sosial.
Media sosial merupakan saluran informasi yang dekat dengan anak muda. Konsekuensinya, informasi yang diperoleh anak muda tentang dinamika sosial politik bergantung pada media sosial. Hal ini mengkonfirmasi dari teori sistem ketergantungan media, dimana anak muda sebagai individu dalam pemenuhan kebutuhannya akan informasi sosial politik tergantung pada media sosial.
Dengan adanya pengaruh informasi yang sangat kuat melalui media sosial, orientasi politik anak muda cenderung lebih evaluatif. Pendapat ini didasari oleh beberapa alasan. Misalnya, anak muda saat ini cenderung kritis terhadap kondisi negara hari ini, termasuk di dalamnya mengkritisi kebijakan pemerintah. Hal ini tercermin ketika anak muda yang diwakili mahasiswa melakukan aksi penolakan di dunia maya dan aksi unjuk rasa besar-besaran dalam menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di sejumlah kota di Indonesia. Bahkan sebelumnya, mereka juga melakukan aksi penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial seperti RUU Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan RUU Cipta Kerja.
Melihat kondisi ini, dampak positif dari arus informasi yang begitu deras dari media sosial diharapkan akan membuat anak muda menjadi pemilih yang rasional pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Karena pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan yang didapatkan dari informasi yang cukup (Nimmo dalam Nursal 2004). Karakteristik pemilih rasional cenderung mempertimbangkan alternatif yang paling menguntungkan atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit. Mereka juga mempertimbangkan alternatif yang menimbulkan resiko yang paling kecil dalam memberikan pilihan.
Sumber : Wenda Mulyana ( Fakultas Ilmu Hukum Universitas Pamulang PSDKU Serang)